harfam.co.id, Jakarta – Presiden Joko Widodo (Jokowi) menandatangani amandemen Undang-Undang Dana Masyarakat (Tapera) yang tertuang dalam Keputusan Pemerintah (PP) Nomor. 21 Tahun 2024 yang merupakan perubahan PP 25/2000. Perubahan undang-undang tersebut populer bahkan pengusaha dan pekerja menolaknya karena merupakan beban baru.
Berdasarkan keterangan Antara, pada Rabu 29/5/2024, ada pembagian kelompok yang seharusnya mengikuti proyek Tapera, antara lain Majelis Nasional (ASN), TNI, Polri, pegawai BUMN/BUMD, dan perekrutan. karyawan.
UU Tapera menyatakan bahwa pemberi kerja wajib membayar iuran yang terutang dan memungut iuran dari pekerja. Subsidi ditetapkan sebesar 3 persen dari gaji atau upah bagi pegawai dan penghasilan bagi Wiraswasta.
Untuk karyawan yang ikut serta, dibagi antara perusahaan dan karyawan antara 0,5 persen hingga 2,5 persen. Sedangkan peserta wiraswasta membawa seluruh produknya.
Uang yang diperoleh peserta akan dikelola oleh Badan Pengelola Tapera (BP Tapera) yang selanjutnya uang tersebut akan dikembalikan kepada peserta.
Peserta yang tergabung dalam Komite Pemerataan Daerah (MBR) berhak menerima manfaat berupa Kredit Pemilikan Rumah (KPR), Kredit Pemilikan Rumah (KBR), dan Pinjaman Kredit Pemilikan Rumah (KRR) dengan jangka waktu sampai dengan 30 tahun dan jangka waktu tetap. suku bunga. harganya rendah.
Pasca perubahan peraturan perundang-undangan Tapera yang tertuang dalam PP Nomor 21 Tahun 2024, banyak pihak yang protes, termasuk pengusaha dan pekerja. Sebab, keterlibatan Tapera menambah beban baru.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mendorong kesejahteraan pekerja dengan menyediakan perumahan. Namun PP Nomor 21 Tahun 2024 dinilai merupakan salinan dari karya sebelumnya yakni Iuran Tambahan (MLT) perumahan pekerja bagi peserta program Jaminan Hari Tua (JHT) BP Jamsostek.
Berikut fakta terbaru revisi aturan Tapera yang mendapat perhatian publik, dihimpun dari berbagai sumber, Rabu (29/5/2024):
Menteri Ketenagakerjaan (Menko) Kepala Badan Usaha Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah harus memikirkan secara mendalam manfaat undang-undang penggunaan dana masyarakat (Tapera) bagi pegawai.
“Tapera harus melihat manfaat yang bisa didapat dan tentunya memikirkan manfaat apa saja yang bisa diperoleh para pekerja di rumah atau perbaikan gedung,” kata Pengawas Kerja Airlangga saat ditemui di Kantor Kementerian. Bidang Ekonomi, di Jakarta, pada Rabu, 29 Mei 2024.
Ia mengatakan, pemerintah melalui Kementerian PUPR dan Kementerian Keuangan, harus melakukan pekerjaan terkait undang-undang baru ini.
“Hal ini harus dicermati lebih dekat dengan kerja sama Kementerian PUPR dan Kementerian Keuangan,” ujarnya.
Soal harga, Airlangga mengatakan akan banyak melakukan review terhadap pihak-pihak yang ada dalam aturan dan regulasi. Nanti terlihat, kata Airlangga, Rabu, 29 Mei 2024.
Wakil Presiden Jusuf Kalla memperingatkan pemerintah melalui pernyataan di News Channel harfam.co.id bahwa pengelolaan Tapera harus baik, adil dan transparan.
Iya (transparan), kata JK, di sela-sela acara Ijtima Fatwa Ulama Indonesia, Sungailiat, Bangka, Bangka Belitung, Rabu, 29 Mei 2024.
Menurutnya Tapera bukanlah hal baru dan setiap desa mempunyai cita-cita baik untuk memiliki rumah. “Ini bukan hal baru. Tapera sudah ada sejak lama, bahkan akan diperbarui, terutama untuk pegawai baru, bahkan mungkin sewa. Semua orang menabung untuk punya rumah. Itu semacam asuransi, menabung,” kata JK..
JK mengatakan Tapera merupakan kemitraan antara pemerintah dan warga untuk membeli rumah terjangkau.
“Nah, kalau tidak, tidak akan ada kesempatan untuk membeli rumah murah. Itu koperasi, pemerintah kasih tanah. Saya kira itu baik untuk semua orang. Kalaupun punya rumah, bawa uang saja,” tutupnya.
DPR juga membahas revisi aturan Tapera. Anggota Komisi IX DPR RI dari PDI-P, Edy Wuryanto mengatakan, kekhawatiran masyarakat banyak yang beralasan, karena terkait dengan pengurangan gaji pegawai demi keikutsertaan Tapera dalam kehidupan terpenting. waktu.
“Seharusnya pegawai dan pengusaha bergabung dengan Tapera, tapi pegawai tidak serta merta mendapatkan manfaat dari Tapera,” kata Edy dalam laporannya, Rabu, 29 Mei 2024.
Hal ini mengacu pada pasal 38 ayat 1b dan 1c yang menyatakan syarat pekerja yang menerima tunjangan adalah mereka yang tidak mempunyai tempat tinggal.
Kemudian pada pasal 39 ayat 2c disebutkan pemberian manfaat didasarkan pada tingkat urgensi memiliki rumah yang dinilai oleh BP Tapera.
Artinya BP Tapera juga akan mempertimbangkan manfaat Tapera baik dalam bentuk KPR, pembangunan, maupun rehabilitasi, ujarnya.
Terhadap hal tersebut, ia menilai Tapera berbeda dengan BPJS, yang penting ide kerjasamanya dan kemanfaatannya bagi seluruh peserta.
Politisi PDI Perjuangan itu juga menilai uang yang disimpan di Tapera tidak dijamin kembali. Edy juga membandingkan jaminan hari tua (JHT) di BPJS Kerja yang manfaatnya minimal rata-rata bunga uang yang disimpan di bank-bank pemerintah. Bahkan, rata-rata imbal hasil JHT kepada pemegang saham melebihi rata-rata tingkat bunga korporasi.
“Saat ini ada perkembangan di BPJS Ketenagakerjaan yang memberikan manfaat serupa dengan kebijakan Tapera. Ada program bernama Programa JHT Manfaat Layanan Tambahan (MLT) Perumahan yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan” kata Edy.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) menentang penerapan Kebijakan Pemerintah (PP) No. 21 Tahun 2024 tentang perubahan PP No. 3. persentase upah pekerja.
Berdasarkan keterangan APINDO, sudah ada pembahasan dan persiapan dan pihaknya sudah melayangkan surat ke Presiden soal Tapera. Sesuai kesepakatan dengan APINDO, serikat pekerja masih menolak penggunaan Tapera. Proyek Tapera dinilai berat bagi pengusaha dan pekerja/karyawan.
Di sisi lain, APINDO mendukung kesehatan pekerja dengan menyediakan perumahan bagi pekerja. Namun PP Nomor 21 Tahun 2024 dinilai setara dengan layanan sebelumnya, yaitu Layanan Tambahan (MLT) perumahan bagi peserta BP Jamsostek Jaminan Hari Tua (JHT).
Tambahan beban upah bagi pekerja (2,5%) dan pengusaha (0,5%) tidak diperlukan karena mereka dapat menggunakan sumber daya dari dana BPJS Ketenagakerjaan.
APINDO berharap dapat lebih meningkatkan pendanaan BPJS Penggunaan Negara, yang menurut PP hingga 30% (Rp 138 triliun), aset JHT hingga 460 triliun dapat digunakan dalam program MLT yang berdampak pada pekerja perumahan. Biaya MLT sangat tinggi dan jarang digunakan.
Selain itu, APINDO menilai UU Tapera yang sudah final menambah beban baru bagi pengusaha dan pekerja.
Saat ini beban pemberi kerja sebesar 18,24% – 19,74% dari penghasilan pekerja dengan poin sebagai berikut:
– Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (dengan UU Jamsostek No. 3/1999); Mencegah usia tua 3,7%; asuransi kematian 0,3%; Asuransi kecelakaan 0,24-1,74%; dan jaminan pensiun sebesar 2%;
– Kesehatan (dengan UU SJSN No. 40/2004): Jaminan kesehatan 4%.
– Cadangan Uang Pesangon (menurut UU No. 13/2003 ‘Pekerjaan’) menurut PSAK (Model Informasi Pribadi) No. 24/2004 berdasarkan perhitungan hitung sekitar 8%.
Namun menurut APINDO, beban tersebut semakin besar akibat melemahnya nilai tukar Rupiah dan melemahnya pasar.
Oleh karena itu, APINDO juga mendukung adanya tambahan manfaat program MLT BPJS Ketenagakerjaan, sehingga pekerja swasta tidak harus mengikuti program Tapera dan sebaiknya diperuntukkan bagi ASN, TNI, Polri yang Taper.
Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) merespons pengumuman PP Nomor 21/2024 tentang subsidi bulanan sebesar 3 persen.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Konfederasi KASBI Sunarno meminta PP 21/2024 dibatalkan.
Sunarno mengatakan, detail serikat buruh yang mewakili buruh belum diundang untuk berdiskusi atau membahas aturan tersebut. Sunarno menilai, muatan hak kebebasan dan berdialog belum terpenuhi sebelum terbitnya PP No. 21 Tahun 2024.
Fakta bahwa para pekerja bekerja keras dan membayar pajak dari pemerintah, menciptakan strategi untuk meningkatkan upah pekerja Indonesia secara wajar dan adil sehingga para pekerja dapat hidup layak dan mereka dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka: makanan, barang-barang. sandang, perumahan yang baik dan nyaman, kesehatan yang baik, pendidikan yang baik, transportasi dan informasi yang cukup dan modern,” kata Sunarno dalam pidatonya di Jakarta, Selasa, 28 Mei 2024. Pekerjaan sudah berat.
Sunarno mengatakan, PP No. 21 Tahun 2024 tidak memuat pemahaman tentang permasalahan yang dihadapi kaum buruh selama ini.
Permasalahan tersebut antara lain upah yang rendah, kondisi kerja yang buruk dan mudahnya pemecatan, hancurnya organisasi, maraknya outsourcing, buruknya K3, hingga pelanggaran hukum.
“Penurunan upah buruh saat ini sangat besar, tidak sebanding dengan kecilnya kenaikan upah buruh,” ujarnya.