harfam.co.id Edukasi – International Council on Clean Transport (ICCT) memperkirakan elektrifikasi sektor transportasi berada pada jalur yang tepat untuk mencapai tujuan Net Zero Emissions (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat.
Potensi baterai kendaraan listrik dalam mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) paling besar jika dibandingkan dengan jenis kendaraan rendah emisi lainnya.
Selain itu, baterai EV juga dapat memaksimalkan pencapaian target pengurangan gas rumah kaca jika dipadukan dengan peningkatan bauran listrik dari energi terbarukan. Mari kita lanjutkan menelusuri seluruh artikel di bawah ini.
Demikian temuan ICCT dalam penelitian bertajuk “Perbandingan Siklus Hidup Emisi Gas Rumah Kaca dari Mesin Pembakaran Internal dan Kendaraan Listrik pada Mobil Penumpang dan Sepeda Motor di Indonesia”.
Penelitian ini dipaparkan pada “Media Workshop: Course To Zero (Emission)” di ECO-S Coworking & Office Space Sahid Sudirman Residence, Rabu, 28 Februari 2024.
Acara yang dimoderatori oleh Manajer Produk Katadata Green, Jeany Hartriani, dihadiri oleh Deputi Koordinator Bidang Infrastruktur dan Transportasi Kemenko Perkapalan dan Investasi, Rachmat Kaimuddin serta dua pejabat ICCT, Aditya Mahalana dan Georg Bieker.
Sementara itu, Georg adalah penulis utama studi tersebut. Rachmat mengatakan, sektor transportasi merupakan penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar kedua di Indonesia dan terbesar di Jakarta.
“Pemerintah ingin mendorong adopsi kendaraan yang tidak mengeluarkan emisi. Kendaraan yang paling cocok untuk itu adalah mobil listrik baterai,” ujarnya.
“Menurut perhitungan ICCT, emisi dari sektor transportasi pada tahun 2050 akan mencapai dua kali lipat dari tingkat saat ini,” tambah Aditya.
Ia menjelaskan, emisi di sektor ini dapat dikurangi dengan penggunaan baterai mobil listrik.
Dengan melihat hasil studi ICCT yang mengamati emisi seumur hidup pada kendaraan roda empat dan dua, terdapat potensi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dengan membandingkan sumber-sumber powertrain yang berbeda.
Emisi siklus hidup mengacu pada emisi kendaraan, mulai dari proses manufaktur, bahan bakar, termasuk penambangan, pengilangan, dan pembangkit listrik, hingga akhir masa pakai kendaraan dengan masa pakai biasanya 18-20 tahun.
ICCT menggunakan asumsi penggunaan kendaraan dan sumber energi pada tahun 2023. Kajian ini juga membuat proyeksi untuk tahun 2030 berdasarkan rencana pemerintah untuk mencapai target Zero Emissions (NZE) pada tahun 2060, khususnya ditambah dengan bauran sumber energi terbarukan.
Lima kelas tenaga yang dibandingkan adalah kendaraan berbahan bakar fosil (BBM), kendaraan listrik hibrida konvensional (HEV), kendaraan listrik hibrida plug-in (PHEV), kendaraan listrik berbahan bakar hidrogen (FCEV), dan kendaraan listrik baterai.
“Kendaraan baterai listrik hanya memproduksi setengah bahan bakar yang terjual pada tahun 2030 dan bahkan mungkin lebih sedikit,” kata Georg Bieker.
Perhitungan penelitian menunjukkan bahwa pada tahun 2023, emisi sel baterai untuk segmen minicar, sport utility vehicle (SUV) dan multiguna (MPV) akan 47–56 persen lebih rendah dibandingkan kendaraan berbahan bakar bensin.
Sementara itu, proyeksi emisi siklus hidup SUV pada tahun 2030 diperkirakan 52–65 persen lebih rendah dibandingkan kendaraan berbahan bakar bensin yang diproduksi pada tahun 2023.
Jika pengisian baterai kendaraan listrik menggunakan listrik dari sumber energi terbarukan, maka potensi emisi dapat berkurang hingga 85 persen.
“HEV dan PHEV mungkin membantu mengurangi emisi, namun tidak dalam jangka panjang. “Kedua kendaraan ini membuat target NZE 2060 tidak mungkin tercapai,” kata Bieker. HEV masih menggunakan bensin dan hanya menawarkan penghematan bahan bakar.
PHEV masih mengandalkan bensin sebagai bahan bakar utamanya. Sepeda motor listrik juga masuk dalam studi ICCT.
Berdasarkan penelitian tersebut, sepeda motor listrik juga berpotensi mengurangi emisi gas rumah kaca dibandingkan sepeda motor konvensional.
Studi ICCT menunjukkan bahwa pada tahun 2023, emisi seumur hidup sepeda motor kategori sepeda motor listrik akan lebih rendah 26-35 persen dibandingkan sepeda motor berbahan bakar bensin.
Perkiraan emisi seumur hidup sepeda motor listrik pada tahun 2030 mampu menurunkan emisi sebesar 34-51 persen dibandingkan sepeda motor berbahan bakar bensin yang diproduksi pada tahun 2023.
Studi ICCT menyarankan empat pilihan kebijakan. Pertama, pemerintah dapat menerapkan kebijakan khusus untuk meningkatkan produksi baterai dan kendaraan listrik dalam negeri.
Strategi tersebut dapat diikuti dengan penetapan target produksi dan penjualan kendaraan listrik melalui Kementerian Perindustrian. Kebijakan ini juga dibarengi dengan insentif pengurangan pajak bagi produsen kendaraan listrik.
Kedua, pemerintah dapat mempertimbangkan untuk menghentikan produksi dan penjualan mobil dan sepeda motor berbahan bakar bensin, serta HEV dan PHEV secara bertahap pada tahun 2040. Hal ini penting untuk mempercepat pencapaian target NZE tahun 2060.
Ketiga, pemerintah dapat menetapkan mandat penjualan kendaraan listrik dan/atau menerapkan standar penghematan bahan bakar umum (CAFE) untuk membantu produsen meningkatkan pangsa kendaraan listrik.
Perlu diketahui bahwa standar CAFE merupakan upaya untuk mengurangi konsumsi bahan bakar kendaraan, seperti mobil kecil dan truk, dengan menerapkan standar penghematan bahan bakar.
Sebagai opsi terakhir, pemerintah negara bagian dan lokal dapat mempertimbangkan pemberian subsidi untuk pembelian baterai kendaraan listrik dan insentif pajak yang lebih luas.
Kebijakan ini diimbangi dengan kebijakan fee/rebate atau kebijakan cukai bagi kendaraan yang memiliki tingkat polusi atau konsumsi bahan bakar yang tinggi.
Selain insentif, kebijakan noninsentif seperti pengecualian ganjil genap di Jakarta atau penerapan tarif khusus aki mobil dan lain sebagainya bisa membantu, kata Aditya.
Ia juga menyarankan opsi penurunan tarif untuk pengisian baterai di luar jam sibuk (dari malam hingga pagi hari).
Menurut Rachmat, pemerintah akan terus melanjutkan insentif perpajakan, serta menerbitkan aturan penangguhan bea masuk kendaraan listrik untuk mendongkrak produksi dalam negeri.
Pemerintah, katanya, berupaya menarik investor seperti Citroën untuk membangun kendaraan listrik bertenaga baterai di dalam negeri mulai Juli tahun ini.
Rachmat juga mengatakan, sebelumnya pemerintah menyiapkan dua jenis insentif untuk sepeda motor dan mobil listrik.
“Untuk sepeda motor kami berikan subsidi Rp7 juta, untuk mobil PPN 10 persen ditanggung pemerintah,” ujarnya.
Saat ini, sektor transportasi menyumbang 27 persen emisi gas rumah kaca dan berpotensi meningkat pesat seiring meningkatnya pertumbuhan ekonomi nasional.
Beberapa manfaat dekarbonisasi sektor transportasi termasuk mengurangi jumlah orang yang rentan terhadap dampak buruk polusi udara terhadap kesehatan dan produktivitas, mendukung pasokan udara bersih untuk kesehatan manusia, dan mengurangi impor minyak dan anggaran pemerintah untuk subsidi bahan bakar. . Gaikindo mengungkap alasan mengapa mobil hybrid lebih populer dibandingkan mobil listrik. Gabungan Industri Mobil Indonesia (Gaikindo) mengungkap alasan mengapa penjualan mobil hybrid lebih tinggi dibandingkan mobil listrik. harfam.co.id.co.id 31 Juli 2024