harfam.co.id, Jakarta – Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan mengatakan salah satu cara menaikkan tarif pajak Indonesia adalah dengan menghilangkan aktivitas impor barang ilegal dengan menerapkan underground economy.
Ekonomi bayangan, yaitu penghasilan dari kegiatan ekonomi yang tidak dipertanggungjawabkan dan/atau didaftarkan pada fiskus untuk menghindari pembayaran pajak.
“Ini penting sekali jika kita ingin menaikkan tarif pajak dan memperkuat dunia usaha di dalam negeri,” kata Zulkifli Hassan usai pertemuan dalam Forum Pengkajian Pelayanan Publik Bisnis (PPNS) Pusat dan Daerah. Jakarta, Rabu (21/8/2024).
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengatakan, menurut Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, aktivitas barang impor ilegal telah menghancurkan pangsa pasar sebesar 30-40%. jumlahnya relatif tinggi dan seharusnya mampu menaikkan tarif pajak. Namun karena banyaknya oknum yang menyelundupkan barang untuk menghindari perpajakan, tarif pajak RI masih tetap rendah yaitu 10% PDB.
Pemerintah menargetkan kenaikan tarif pajak atau tax rate dari 11,2% menjadi 12% PDB pada tahun 2025. Tarif pajak membandingkan atau mewakili pendapatan pajak dengan PDB nominal suatu negara.
Menurutnya, jika shadow economy mendapat perhatian dan tarif pajak RI ditingkatkan, maka Indonesia akan mudah swasembada pangan, kesejahteraan petani meningkat, usaha kecil dan menengah bisa tumbuh, dan industri dalam negeri akan meningkat. terus berkembang.
Oleh karena itu, Mendag dalam laporannya mengatakan, diperlukan kerja sama yang kuat antara Kementerian Dalam Negeri, Kejaksaan, Bea Cukai, Kementerian Keuangan, kemudian bupati, gubernur, dan masyarakat serta pemerintah.
“Jika kita membaik, kita akan membayar pajak secara tertib. Tarif pajak bisa naik dan industri terlindungi karena sama-sama bayar pajak, sama-sama punya standar, sama-sama punya izin BPOM, dan sama-sama punya aturan halal, jadi begitu. sama,” katanya.
Mantan Menteri Pertahanan dan calon presiden Prabowo Subianto menargetkan menaikkan tarif pajak menjadi 16 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Sebab tarif pajak Indonesia masih berkisar 10%. Menurut Prabowo, jumlah tersebut masih jauh lebih rendah dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, dan Kamboja.
“Tarif pajak kita bisa dinaikkan secara signifikan,” kata Prabowo Mandrida. Sekarang 10%, tetangga kita Thailand 16%, Malaysia 16%, Kamboja sekitar 16-18%. “Kita perlu memperbanyaknya.” Investment Forum 2024, Selasa (5/3/2024).
Misalnya saja, Prabov yang mengalami kenaikan tarif pajak di Thailand. Dengan lonjakan hanya 6%, pendapatan nasional Thailand pun mencapai Rp 1.413 triliun.
“Saya kira bisa diselesaikan. Kalau kita bisa meningkatkan 10% seperti di Thailand dan meningkatkan PDB sebesar 6% menjadi 1,5 miliar dolar, itu penting sekali. Berapa? 90 miliar dolar (setara Rp 1413 triliun),” Prabu Subianto.
“Apa yang saya katakan? ‘Kalau Thailand bisa menaikkan tarif pajak menjadi 16%, Malaysia, Vietnam, dan Kamboja bisa, kenapa Indonesia tidak?'” kata Prabowo saat dihubungi.
Oleh karena itu, tarif pajak sangatlah penting dan harus menjadi prioritas pemerintah di masa depan. Prabowo kemudian meminta nasihat dari para pejabat dan pakar ekonomi yang menghadiri Mandiri Investment Forum 2024 tentang siapa orang yang tepat untuk diangkat menjadi kepala pajak.
“Bapak Eric Thohir, Pak Dharmawan (Direktur Bandi Mandir Junaid), Pak Kartika (Wakil Menteri BUMN Virjatmodojo), Pak Chatib (Ekonom Senior Basri), mohon sarannya siapa yang akan menjadi ketuanya. Pajak,’ katanya sambil bertepuk tangan.
“Apa yang saya minta kepada para pakar ekonomi di sini adalah memberi tahu kita apa yang harus kita lakukan,” tambah Prabov. “Bukan hanya untuk meningkatkan pertumbuhan, tapi untuk meregangkan pembayar pajak.”
Sebelumnya, mantan Direktur Jenderal Kementerian Keuangan Hadi Poernomo mengungkapkan tarif pajak Indonesia merupakan yang terendah di antara negara anggota ASEAN dan negara G20.
“Posisi tarif pajak Indonesia paling rendah di ASEAN dan G20 sebagai Bank Data Pajak (BDP) masih belum sepenuhnya terlaksana.” (4/4/2023).
Mengutip data Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi, Hadi mencatat tarif pajak Indonesia sebesar 9,75 persen pada tahun 2019, kemudian turun menjadi 8,33 persen pada tahun 2020 dan meningkat menjadi 9,12 persen pada tahun 2021.
Angka tersebut lebih rendah dibandingkan tarif pajak Amerika Serikat (AS) yaitu 25,20% pada tahun 2019, 25,75% pada tahun 2020, dan 26,58% pada tahun 2021.
Denmark, Prancis, dan Finlandia memiliki tarif pajak di atas 40%, berkisar antara 41% hingga 47% pada tahun 2019 hingga 2021.
Di antara negara-negara anggota ASEAN, tarif pajak Indonesia masih yang terendah yaitu hanya 8,3% pada tahun 2020, tertinggi di Vietnam sebesar 22,7%, Kamboja sebesar 20,2%, Thailand sebesar 16,5%, Singapura sebesar 12,8% dan Malaysia sebesar 11,4%, dan Laos sebesar 11,4%. .
Menurut Hadi, target penerimaan pajak Indonesia telah meleset selama 14 tahun, yakni 2006 hingga 2020, kecuali tahun 2008.
Namun karena faktor komoditas, kami akan melampaui rencana tahun 2021 dan 2022.
Lalu strategi apa yang harus dilakukan pemerintah untuk menaikkan tarif pajak?
Menurut Hadi, hal itu bisa dilakukan dengan menggabungkan dua kali Dasar Pajak, Tukar, dan NPWP menjadi NIK Badan Pembebasan Pajak, menaikkan PPN sebesar 1%, menaikkan tarif PPh sebesar 2%, serta memperluas basis PPN.