harfam.co.id, Jakarta Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang merupakan peraturan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Kesehatan No. 28 Tahun 2024, terus menimbulkan banyak perdebatan. Pasalnya, pernyataan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terhadap aturan terbaru tentang rokok kerap dinilai tidak konsisten.
Aturan terbaru ini mengatur berbagai aspek terkait peredaran rokok, mulai dari rokok kemasan polos tanpa label, zona larangan penjualan rokok, hingga larangan iklan di lingkungan luar ruangan. Pasal 15 ayat 3 bagian “Pencantuman informasi kemasan” RPMK yang diunggah dalam situs resmi Kementerian Kesehatan menyatakan; Merek produk ditandai di bawah peringatan kesehatan pada bagian depan atau belakang kemasan dengan menggunakan huruf Arial Bold yang besar.
Sedangkan Pasal 5 ayat (1) huruf g berbunyi: Gambar dan/atau tulisan tidak boleh ditambahkan pada kemasan Produk Tembakau dalam bentuk apapun selain yang ditentukan dalam Peraturan Menteri ini.
Meski demikian, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PTM) Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan dalam beberapa pernyataan, penggunaan logo pada kemasan rokok masih diperbolehkan. Hal ini mencakup kewajiban untuk mencantumkan peringatan dan informasi kesehatan. Pada kesempatan lain, Nadia mengumumkan bahwa branding tidak diperbolehkan.
“Nama dan logo produk tetap boleh. Tapi ada peringatan, informasi, dan gambar dampak merokok. Tidak boleh branding. Kami melakukan standarisasi warna, termasuk pada rokok elektrik,” kata Nadia, Minggu (13/10/2024). . .
Perbedaan pernyataan Siti dengan proyek RPMK juga terlihat pada pengaturan brandingnya. Pasal 5(1)(e) menjelaskannya; penulisan merek dan varian produk tembakau dalam bahasa Indonesia. Sementara itu, poin f menyatakan; penulisan identitas pabrikan dalam bahasa Indonesia dengan font Arial.
Sementara itu, Siti sebenarnya menyebut belum ada standarisasi nama atau penulisan merek rokok. “Kami tidak membakukan nama merek rokok. Bahasa Indonesianya hanya peringatan, lalu informasi. Merek mengikuti merek,” jelasnya.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Harian Yayasan Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan perlunya klarifikasi aturan kemasan polos bagi rokok tidak bermerek. “Sebenarnya perlu dipertegas bahwa yang disebut rokok biasa bukanlah rokok biasa seperti rokok luar negeri yang diperkenalkan beberapa negara, yakni Australia dan Selandia Baru,” ujarnya.
Tulus mengatakan, dalam lingkup aturan PP 28/2024, bungkus rokok tersebut bukanlah bungkus rokok standar tanpa merek, melainkan bungkus rokok terstandar. Ia juga percaya bahwa di negara lain standar kemasannya berwarna putih. Hal ini berbeda dengan kenyataan di lapangan.
“Dengan adanya standarisasi maka peringatan kesehatan akan terus meningkat yaitu 50 persen dan warnanya terstandar. Artinya kemasannya tetap terstandar dan berbeda dengan rokok biasa. Untuk rokok biasa di Australia dan Selandia Baru. . , dan mungkin di beberapa negara lain memang benar “warnanya putih, tidak ada gambar dan tidak ada peringatan kesehatan,” jelasnya.
Berbagai pihak, mulai dari petani hingga ilmuwan, tegas menentang rancangan peraturan tersebut. Ketua Dewan Pengurus Nasional Persatuan Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI) Agus Parmuji mengatakan, RPMK terdapat beberapa kejanggalan atau kontradiksi.
Ketentuan RPMK antara lain berlaku untuk kemasan seragam/standar kemasan. Padahal, kata dia, aturan kemasan seragam/kemasan polos pada prinsipnya tidak diwajibkan dalam PP 28/2024.
“Lebih banyak negara yang menggunakan kemasan polos/polos belum terbukti menurunkan jumlah perokok aktif secara drastis. Yang terjadi adalah penyebaran rokok ilegal semakin meningkat. Dampak lainnya, penerimaan cukai pemerintah menurun dan menambah kemiskinan baru,” kata Agus.